Tami Punya Karya

Tami Punya Karya. "Tulisan yang ada di sini semua adalah hasil inspirasi yang ditangkap lewat ANGIN dan SUARA HATI."

Minggu, 19 Desember 2010

Dua Cangkir Teh Hangat

“Aku harap ada waktu untuk aku, kau, dan 2 cangkir teh hangat. Sepotong fajar akan menemani kita. Itu saja cukup.”

-Tami


Ada kata-kata yang sering aku utarakan pada seseorang, sering aku berceloteh: “Udah lama ya Kak kita nggak ngobrol.” Atau, “Kak, aku pengen ngobrol banyak sama Kakak.” Ah, semoga kau tak bosan mendengar kata-kata itu. Aku akan terus mengatakannya sampai kita benar-benar bisa merangkai kata bersama.

Bukan hanya sekedar celotehan, tapi memang aku ingin sekali berbincang dengannya. Banyak yang ingin aku sampaikan padanya, banyak yang ingin aku diskusikan dengannya, banyak yang ingin aku tahu darinya. Aku hanya ingin kita berbincang-bincang santai saja, tersadar bahwa aku dan dia tidak pernah berbincang-bincang panjang sebelumnya. Hanya ada kata-kata tegur sapa basi yang sering kudengar dan kukatakan padanya. Tatapan mata tidak cukup untuk menjelaskan semuanya bukan? Walaupun terkadang aku bisa menangkap gerak-gerik tubuhnya, intonasi suaranya yang seakan menjelaskan apa yang ingin dia sampaikan, tapi itu semua masih belum cukup. Bisakah kita menguatkannya dengan bingkai kata-kata? Agar semua menjadi jelas.

Mungkin memang alam belum berkonspirasi dengan tuannya untuk “memepertemukan” aku dan dia. Namun aku masih terus menapaki jejak-jejaknya, walaupun terkadang jejaknya tak berbekas ataupun samar. Lelah? Tentu saja! Tak jarang aku menghapus jejaknya!

Kau tahu, untuk kesekian kalinya aku katakan padamu, bahwa aku hanya ingin berbincang dengannya, sederhana bukan?

“Aku harap ada waktu untuk aku, kau, dan 2 cangkir teh hangat. Sepotong fajar akan menemani kita. Itu saja cukup.”

Aku tidak meminta banyak waktumu, waktuku dan waktumu hanya sebatas dua cangkir teh hangat, tidak lebih. Dua cangkir teh hangat untuk berbincang-bincang, menjelaskan dan memahami apa yang telah kita rasakan selama ini. Sepotong Fajar aku kira cukup indah untuk menemani kita, ia saja malu menatap kita, diam-diam, pelan-pelan, kembali ke peraduannya, enggan menguping pembicaraan kita. Seakan-akan ia cemburu.

Aku tidak akan membiarkanmu menambah satu cangkir teh lagi, karena itu akan memperpanjang perbincangan dan membuatmu mengarang kata-kata. Aku juga tak rela jika secangkir teh itu tidak kau habiskan, kerena aku takut ada kata-kata yang masih kau sembunyikan. Untuk itu, nikmatilah secangkir teh hangat ini dengan rasamu, jangan terburu-buru. Nimatilah.

Ketika Teh dicangkirmu dan dicangkirku sudah mulai dingin dan tinggal setengah, aku berharap kau dan aku tidak bersikap dingin layaknya teh itu, tapi justru tersenyum menghabiskan sisa teh dan mengantarkanku pulang seiring tenggelamnya sang fajar. Saat itu aku yakin, kau telah mengambil keputusan yang tepat dan terbaik untuk kita.

“Kita tinggalkan dua cangkir kosong dan fajar yang mulai terlelap, namun kehangatan itu akan terus terasa di hati ini.”

Entah kapan, suatu saat aku ingin berbincang denganmu J


Jatinangor, 19 Desember 2010

13.41 WIB

Utami Ramadhanti

1 komentar:

  1. membaca tulisan ini... mengingatkan akan cerita kakak waktu itu...
    sungguh tulisan yang hidup

    BalasHapus